Label

Pages

Rabu, 03 Oktober 2012

Otokritik Seorang Guru (sebuah sinopsis)

Perjalanan panjang kadang memunculkan berbagai tanggapan, opini , keluh kesah serta pengharapan. Saat mata terlalu pekat untuk melihata realita, saat pikiran memaksa berkehendak, saat semua terlanjur terhegemoni dengan keadaan. Tak terkecuali guru, pahlawan berembel embel tanpa tanda jasa ini menyeruakaaan kritiknya

Jalan itu ada dan tetap akan ada. Mungkin itu salah satu kandungan dalam buku ini. Semrawautnya sistem pendidikkan indonesia bersumber dari beberapa macam komponenen yang saling terlibat. Kalau pun tak mau dipungkiri, seluruh komponen bangsa ini harus bertanggung jawab. Tak bisa hanya menyalahkan apalagi melempar tanggung jawab demi suatu. Karena pendidikan itu milik bersama dan mesti juga harus diselesaikan bersama

Buku ini hadir ditengah kondisi pendidikan indonesia yang menurut penulis ibarat pasar dimana terdapat mekanisme yang jelas antara pihak sekolah dan pedagang yang saling menguntungkan bagi kalangannya. Dalam beberapa hal mungkin saja jika kita membaca buku ini, tak ubahnya mengingat pengalaman – pengalaman saat masih bersetatus siswa. Hal ini dapat kita lihat dalam beberapa sub bab dalam buku ini dimana sang penulis terkadang menyelipkan pengalaman putri dan murid didiknya dalam menjalani kehidupan pendidikan. Dari mulai pengkomersialan buku, sistem penerimaan, hingga hal hal yang tidak ada hubungannya dengan dunia pendidikan namun dengan sengaja dijejalkan demi keuntungan beberapa pihk yang terlibat.

Secara isi buku ini dipilah menjadi tiga bab dimana keseluruhan bagian penyusunnya adalah kumpulan artikel penulis yang dimuat dalam harian kompas mulai dari tahun 1996 – 2008. walaupun dinamika pendidikan dari tahun ketahun kadang kala tak menentu, namun penulis mampu memberikan gambaran bahwa hal inilah yang terjadi sekarang. Pendidikan yang tak ubahnya pasar memaksa seluruh komponenen pendidikan menerima hal ini sebagai suatu yang sudah biasa. Dan parahnya peran pemerintah pun seakan akan mendukung akan keadaan ini

Dalam bab pertama terdapat 16 artikel yang dengan tegas menggambarkan keadaan sekolah di zaman kini. Dari mulai praktik – praktik komersialisasi di lingkup pendidikan hingga keadaan sekolah di era otonomi daerah. Semua penulis susun berdasarkan pengalamnya sebagai guru, orang tua murid , dan juga pemerhati pendidikan. Sehingga dalam beberapa tulisan mungkin ada beberapa artikel mempunyai kadar emosi yang berbeda.

Bicara masalah komersialisasi dalam lingkup pendidikan. Penulis mengambil contoh keadaan siswa dari mulai pendaftaran hingga lulus selalu saja dipenuhi dengan unsur pasar. Saat proses penerimaan tergambar jelas komersialisasi pndidikan lewat budaya nepotisme yang kental. Beranjak setelah itu adalah pengadaan seragam sekolah, buku setiap semester, hingga kegiatan wisata study tour. Berbagai jenis produsen barang barang tersebut berlomba disitu tentu saja dengan kerjasama dari pihak sekolah. Entah disadari atau tidak, Semua hal tersebut seakan menunjukan wajah buram pendidikan kita.

Berbagai permasalahan tersebut penulis gagas dalm penjelasan yang terpisah pisah, namun berkaitan. Sehingga untuk dapat memahami bab demi bab, ada baiknya tidak membaca secara terpisah, karena akan sulitmemahami akan tujuan dari penulis.

Guru sebagai ujung tombak

Guru mendapat sorotan tajam oleh penulis pada bab berikutnya. Adalah sungguh naif jika mengesampingkan peran guru dalam proses pembangunan pendidikan. Namun kadangkala untuk mengerti perbedaan suatu profesi dan panggilan hidup kiranya guru adalah pihak yang berada dalam dilema. Saat ia bekerja keras demi anak didiknya, ia terganjal akan keadaan kesejahteraan keluarganya Namun ketika ia menuntut penghidupan yang layak, maka cap duniawi, tidak tulus, dan sejenisnya akan tersemat pada seorang guru.Hal ini tergambar dalam sub bab pertama bab dua.

Selain masalah kesejahteraan guru yang sering diungkap dalam bebrapa sub bab, pencarian guru kreatif adalah salah satu bagian yang cukup menusuk. Dimana kecenderugan sekarang guru adalah pengajar yang normatif dan terlalu terpaku pada teks book dan monoton. Akibatnya proses belajar mengajar akan menjadi kurang efektif dan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Diperlukan adanya guru yang dapat menerjemahkan, menguasai, dan menerapkan sistem pendidikan beserta kurikulumnya dalam praksis pengajaran, sehingga dapat lebih mengena pada peserta didik. Cerita tersebut merupakan sebuah pengalaman dari penulis ketika menjadi juri dalam sebuah perlombaan guru kreatif yang diadakan di salah satu SMA swasta.

Secara isi ke 12 artikel dalam bab dua ini memang secara implisit mengatakan bahwa sebagai aktor utama pendidikan selayaknya guru mesti segera bergerak. Semua hal tentang masalah masalah pendidikan sebenarnya bisa diatasi dengan peran dan inisiatif dari guru. Jangan sampai guru disini hanya menjadi kepnjaangan tangan birokrasi dalam menjalankan kebijakan – kebijakan yang terkadang tidak memihak pada kalangan bawah dalam konteks anank didik

Mengajarkan nilai

Bab pamungkas dalam buku ini bertema tentang pentingnya penanaman nilai. Ada 16 artikel yang terangkum disini. Dalam beberapa artikel sering mengupas masalah pentingnya menumbuhkan kreatifitas serta kebebasan murid untuk mengekplor kemampuannya. Pengekangan peserta didik baik itu melalui kurikulum atau pun sisitem pengajaran hanya akan menghambat kemajuan para murid. Kepadatan keguiatan belajar mengajar yang tak diimbangi dengan penyegaran pun pada akhirnya menimbulakn tekanan yang berimbas pada mental mereka.

Hal lain seperti kejujujran, jiwa besar, kesetaraan jender, pengasahan imajinasi adaalh beberapa bagian yung kiranya juga cukup menarik. Tak sekedar berbasa basi, namun penulis memaknainya sebagai jalan bagi semua pihak yang peduli akan nasib pendidikan indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar