Rokok membunuh lebih banyak manusia daripada Mariyuana, membikin
orang miskin tersebar dibandingkan korupsi, dan membuat kecanduan
lebih berat daripada alkohol. Rokok adalah alat setan dan pemakainya
adalah budak iblis. Begitu kira2 logikanya. Emang iya?
Dunia adalah tempat manusia bertahan hidup, entah dengan racun atau
obat disekitarnya. “Racun” membuat mereka bertahan menghadapi kerasnya
hidup dan “obat” membuat mereka optimis akan terangnya harapan. Semua
melangkah kedepan dengan angan bisa melihat matahari terbit di keesokan
harinya. Tak ada yang beda karena kita sama, sama sama manusia.
Akhirnya Semuapun berjalan sesuai jalannya. Meskipun Tak ada yang tau
kebenarannya hingga ujung finish menyapa. Himbauan dan larangan
terlontar adalah naif karena sekali lagi aku katakan, kita sama, sama
sama manusia. racun dan obat adalah absurd, pembatasnya adalah tipis,
bahkan tak ada kalo mau dikaji lebih mendalam lagi.
berlanjut pada hal yang Lebih spesifik tentang racun dan obat, rokok
merupakan sebuah dilema yang dari masa jahula menjadi perdebatan karena
fungsi dan esensinya. Dianggap barang hina namun juga dipuja. Diludahi
namun juga dipuji. ia adalah paket racun dan obat yang tak akan pernah
terang rimbanya.
Dilemanya ternyata ternyata bukan hanya pada masalah rokok itu adalah
“racun” dan berhenti menghisapnya merupakan “obat” , atau rokok bisa
menjadi racun ataupun obat sekaligus. Namun kondisi seperti apa ingin
yang dikehendaki. Apakah ini sebuah kesepakatan atau Cuma inisiatif atas
dasar kemanusian. Atau jangan – jangan sebuah modus bisnis, ah tipis.
Bukan bermaksud ofensif. dewasa ini “perokok” merupakan cerminan
orang gila dan “pelarangnya” adalah kurang ajar. Dianggap orang gila
karena merasa bangga bisa melubangi jantungnya sendiri tanpa alat bedah
dan mekanisme operasi. Ditambah dengan segala retorikanya mereka pun
juga membuat pembenaran dari apa yang mereka lakukan. Demi ekonomi,
gaya hidup, sosial, ah apalah itu. Yang namanya retorika ya tetap
retorika.
Pelarang pun adalah pihak yg kurang ajar, tiba-tiba mereka menjadi
polisi sosial dadakan berbintang lima yang berhak mengatur ini itu.
Berkampanye hingga buih-buih liur tumpah disela2 bibirnya dan
menjanjikan panjang umur bagi penganutnya. Apa hubungannya rokok dengan
panjang umur, dengan angka statistik dan penelitian apa mereka akan
beragumen. Ah paling benci dengan manusia yang satu ini. maaf anda bukan
tuhan yg bisa menentukan umur.
Pemerintah pun munafik, mereka sebenarnya takut kehilangan rokok,
pemerintah gelisah meniadakan rokok, pemerintah gundah mengahapus rokok.
Rokok hingga sekarang tak pernah dilarang oleh mereka, rokok hanya
dipersulit mendapatkannya. Namun tetap saja mereka menghimbau
pelarangannya. Dasar.
di negara berkembang seperti indonesia pembatasan rokok hanya
berujung pada kenaikan harga tanpa mencapai titik yang diharapkan, yakni
mengurangi jumlah perokok aktif. Perokok adalah subjek yang dinomor
kesekian dalam perumusan kebijakannya. Jadi siapa yang diuntungkan
kalau sudah begini, pengusaha rokok kah, pemerintahkan, masyarakatkah,
atau ah taulah
Hari tanpa tembakau sedunia akhirnya ibarat perayaan tanpa makna, yah
selevel dengan acara hallowen dan valantine di negara-negara barat.
Pemerintah tak pernah membuat langkah staregis dalam menanggulangi
secara sistematsis. Hari tersebut hanya dimaknai secar sepihak oleh
golongan anti rokok dalam mendeskrditkan perokok. “Yawudah tinggal
berhenti aja, apa susahnya”
hum, enak aja :p
Yawdahlah, kalo mau win win solution. G usah ada lah hari-hari model
gituan, g penting juga buat masyarakat indonesia. Biarlah kepulan asap
itu tetap terhembus melewati paru-paru hingga mulut mereka secara mulus,
dengan catatan tak seenaknya sendiri dilingkungan umum. Toh ntar fakta
yang membuktikan jikalau rokok itu memang besar racunnya dari pada
obatnya. Penikmatnya akan mundur sendiri dengan legawa.
semoga :)